Senin, 26 Maret 2012

Sejarah Tari Pajoge

Asal mulanya Pajoge, timbul semasa kerajaan Bone dahulu. Ada yang mengatakan sejak abad ke VII, tetapi hal itu belum jelas, karena belum ada diketemukan tulisan-tulisan yang dapat memberikan keterangan pasti tentang hal itu, tetapi yang jelas bahwa raja Bone ke 31 Lapawawoi Karaeng Sigeri sangat gemar akan tari Pajoge dan semua anaknya memelihara tari Pajoge.

Jadi dengan demikian bahwa Pajoge lahir di istana raja untuk menghibur raja dan keluarganya, juga untuk menghibur rakyat pada pesta-pesta. Penari-penari pada umumnya diambil dari rakyat biasa saja. Perbedaan dengan tari Pakarena dengan tari Pajoge yang biasa hidup diistana raja yang penari-penarinya dipilih dari keturunan bangsawan atau anak anggota adat. Tetapi Pajoge adalah merupakan tarian rakyat yang dipertontonkan pada pesta raja dan umum. Tarian Sulawesi Selatan
Demikian Pajoge berfungsi sebagai tarian hiburan, juga merupakan alat penghubung antara raja dan rakyat, untuk mendekatkan hubungan agar supaya rakyat tetap cinta kepada rajanya dan sebaliknya.
Pajoge yang lahir di istana raja itu penari-penarinya dipilih yang cantik-cantik saja serta mempunyai kelebihan-kelebihan agar supaya dapat menarik perhatian para penonton, baik raja-raja maupun rakyat dengan maksud disamping ia berfungsi sebagai hiburan juga dapat menarik keuntungan atau hasil yang berupa materi, karena para penonton diberi kesempatan untuk Mappasompe pada salah seorang Pajoge yang diingininya. Dan telah menjadi ketentuan bahwa setiap laki-laki yang mau Mappasompe harus menyediakan uang atau benda lain. Macam-macam Tari Pajoge:
  1. Pajoge biasa (penari-penarinya dari wanita)
  2. Pajoge Angkong (penari-penarinya orang-orang banci)

Sabtu, 24 Maret 2012

Fakta Unik Tiga Tempat Wisata di Bulukumba

Tempat wisata pada umumnya merupakan tempat berkumpul bagi sebagian orang dalam rangka mengisi waktu luang setelah melakukan rutinitas padat yang menguras tenaga dan pikiran. Biasanya tempat wisata ramai dikunjungi pada setiap akhir pekan atau musim libur tiba. Berwisata atau yang kerap disebut sebagai rekreasi ke tempat-tempat tertentu merupakan sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan dan mengesankan.
Apa yang anda pikirkan tentang tempat wisata? Keindahan suasana alam, pegunungan, pantai, kuliner dan kebudayaan daerah bukan?
Pada dasarnya mengunjungi tempat wisata tidak selalu berfokus pada poin-poin yang telah disebutkan di atas, adakalanya orang yang berwisata juga mempunyai visi dan keinginan yang lebih ketika berada di tempat yang dikunjungi, minimal menambah pengetahuan mereka tentang adat dan kearifan lokal budaya setempat.
Adalah kabupaten Bulukumba, sebuah daerah tropis yang berada di sebelah selatan bagian timur provinsi Sulawesi Selatan dan berjarak kurang lebih 150 kilometer dari kota Makassar. Daerah yang dijuluki “Butta Panrita Lopi” ini mempunyai segudang potensi wisata budaya yang unik dan wisata bahari yang eksotis dan tentu sangat disayangkan jika tidak dikunjungi apalagi dilewatkan begitu saja, terutama oleh wisatawan baik dari seluruh pelosok negeri maupun mancanegara. Tanah adat Kajang dengan budayanya yang khas, kepiawaian masyarakat Tanah Beru dalam membuat Phinisi, perahu kebanggaan pelaut Bugis-Makassar serta keindahan panorama alam Tanjung Bira dengan pasir putih dan laut pantainya yang eksotis, tidak asing lagi ditelinga masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya, masyarakat Indonesia bahkan dunia secara umum.
Bagi mereka yang pernah mengungjungi daerah produsen cemilan khas ”Jagung Marning” ini, tentu sudah mengetahui dan mempunyai cerita tersendiri untuk tiga lokasi wisata tersebut. Namun bagi orang yang belum pernah berkunjung dan ada niat atau rencana ke tempat itu, mungkin perlu menyimak beberapa fakta unik tempat-tempat wisata yang ada di Bulukumba.
  1. Tanah Adat Kajang
Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa sudah sejak lama mendiami Tana Toa, daerah Bulukumba, Sulawesi Selatan. Suku Kajang merupakan salah satu masyarakat adat klasik, mereka tinggal di daerah yang terpencil, dan tetap memelihara nilai tradisional dengan menjaga kesakralan tokoh Ammatoa atau pemangku adat. Berdasarkan lokasi permukiman mereka, masyarakat suku Kajang terbagi dalam dua kelompok, yakni Kajang Luar dan Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam, yang merupakan penjunjung tinggi adat Kajang, mendiami tujuh dusun di Desa Tana Toa. Adapun pusat kegiatan komunitas suku Kajang berada di Dusun Benteng, yang ditandai dengan kehadiran rumah Ammatoa, sang pemimpin adat.
 Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan "Patuntung". Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran”. Seiring perubahan zaman, mereka mengaku memeluk agama Islam atau sebutan mereka Sallam. Hanya dalam praktiknya, mereka mengiblatkan diri pada "Passang Ri Kajang" atau pesan-pesan suku Kajang sebagai payung kehidupan.
Ajaran Patuntung mengajarkan jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek moyang. Kepercayaan dan penghormatan  terhadap Turiek Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung.  Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Pandangan Patuntung ini direfleksikan dari cara berpakaian Suku Kajang yang serbahitam. Warna hitam tersebut merupakan simbol kesederhanaan dan peringatan akan adanya kematian atau sisi gelap. 
Sebagian orang mengatakan bahwa jika ingin mengunjungi daerah ”Ammatoa” ini harus memakai pakaian warna hitam dan tidak boleh memakai alas kaki, namun faktanya tidak mengapa pengunjung memakai alas kaki tetapi yang harus dihindari adalah memakai pakaian yang berwarna merah. Menurut beberapa sumber warna merah adalah pantangan bagi penduduk adat di sana.
Walaupun sebenarnya kawasan ini bukan lagi daerah yang terisolir, namun masih bisa katakan demikian karena aliran listrik di kawasan tanah adat tidak ada. Meski pemerintah setempat sebelumnya telah menawarkan listrik masuk ke wilayah tersebut, tetapi tidak ada izin dari kepala adat setempat.
  1. Tanah Beru ( Dan ritual Pembuatan Perahu Phinisi)
Desa Tanah Beru yang berada di pelosok ini memang terbilang istimewa. Pasalnya desa kecil ini tersohor berkat kepandaian penduduknya membuat kapal kayu hebat, termasuk kapal Phinisi yang melegenda.
Proses pembuatan perahu phinisi dibutuhkan ketelitian, keahlian dan juga ritual yang wajib dilakukan. Pembuatan perahu pinisi pun bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya, tergantung ukuran yang dibuat. Kayu untuk membuat perahu pinisi diambil dari pohon welengreng atau disebut pohon dewata yang terkenal sangat kuat dan tidak mudah rapuh. Para pembuat perahu tidak menggunakan rancangan tulisan atau gambar dalam membuat perahu phinisi. Mereka hanya menggunakan pengetahuan dan pelajaran yang telah diajarkan oleh leluhur dan nenek moyang mereka. Disinilah proses ritual itu dimulai.
Mula-mula para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle'na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian. Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.

  1. Pesona Tanjung Bira ( Dan ritual larung sesaji di pantai pasir putih)
Tanjung Bira terletak sekitar 40 km dari  Kota Bulukumba atau 200 km dari Kota Makassar. Perjalanan dari Kota Makassar  ke Kota Bulukumba dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum dengan tarif yang sangat terjangkau. Lama perjalanan dari Kota Makassar ke Tanjung Bira sekitar 4 –  4,5 jam. Tanjung Bira merupakan pantai pasir putih  yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan. Pantai ini termasuk pantai yang  bersih, tertata rapi, dan air lautnya jernih. Keindahan dan kenyamanan pantai ini terkenal hingga ke mancanegara. Turis-turis asing dari berbagai negara banyak yang berkunjung ke tempat ini untuk berlibur. 
Pantai Tanjung Bira sangat indah dan  memukau dengan pasir putihnya yang lembut seperti tepung terigu. Di lokasi,  para pengunjung dapat berenang, berjemur, diving dan snorkling. Para pengunjung juga dapat menyaksikan  matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama, serta dapat menikmati  keindahan dua pulau yang ada di depan pantai ini, yaitu Pulau Liukang dan Pulau  Kambing.
Orang akan mengira jika objek wisata pantai yang sudah tersentuh modernitas seperti pantai Bira telah mampu mengubah paradigma berfikir penduduk setempat. Kenyataannya masih banyak warga yang melakukan kebiasaan “primitif” dan melanjutkan ritual leluhur mereka, yakni melarung sesaji di pantai pasir putih. Meski fenomena ini sudah jarang terlihat, namun pada hari-hari tertentu terkadang masih dijumpai aktifitas warga yang seperti itu.

Bagaimana? Ada yang berminat berkunjung ke Bulukumba? :)

 

Tentang Penulis

Muhammad Aksar adalah putera kedua pasangan Sanuddin dan Rahmatia, dilahirkan 20 tahun silam di Bumi Butta Panrita Lopi, Kabupaten Bulukumba. Saat ini masih terdaftar sebagai mahasiswa semester akhir jurusan Teknik Elektronika Universitas Negeri Makassar. Selain itu Aksa sapaan akrabnya, sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di kampus, dedikasinya dalam lembaga kemahasiswaan menjadikannya sebagai seorang ketua umum terpilih Himpunan Mahasiswa Elektronika periode 2010-2011.