Sabtu, 09 Maret 2013

Wajah Mahasiswa Hari Ini

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dan beberapa literarur yang ada, mahasiswa umumnya didefinisikan sebagai orang-orang yang terdaftar di Perguruan Tinggi dan sedang mengikuti kuliah pada semester berjalan. Peran mahasiswa sangatlah berpengaruh terhadap hampir semua bidang kehidupan. Betapa tidak, jika dilirik dari “teori perkembangan”, usia dan lingkungan secara tidak langsung membentuk pribadi dan pola pikir ideal seorang mahasiswa. Tak pernah diragukan, mahasiswa selalu berada dalam barisan perjuangan sejak zaman pra dan pasca kemerdekaan, orde baru serta era reformasi bangsa Indonesia. Hal itu diakui secara wajar bahwa saat itu mahasiswa sangat menyadari peran dan tangung jawabnya. Jika berbicara “saat itu” artinya sesuatu, era atau zaman yang telah pernah terjadi. Permasalahannya kemudian bagaimana kondisi mahasiswa pasca reformasi? Ditengah kemajuan teknologi, tekanan modernisasi, globalisasi dan hantaman berbagai “tawaran” ideologi, sulit digambarkan wajah mahasiswa hari ini jika hanya dalam satu sudut pandang. Marilah bersama mencoba meretas permasalahan dengan melihat beberapa gambaran kehidupan mahasiswa berikut ini.

Adalah Anton (bukan nama asli), dia salah satu mahasiswa dari jutaan mahasiswa di negeri ini,  sedang asik memutar-memutar rokok disela jari-jarinya sambil sesekali menghisapnya lalu menyemburkannya sehingga menjadi bulatan kepulan asap, yang pastinya menambah jumlah polusi udara di Makassar. Anton kala itu sedang menunggu jam mata kuliah kedua, celananya yang robek dengan kaos sudah kusam pula, rambut gondrong ditambah anting dikuping membuat dia lebih mirip preman pasar ketimbang seorang mahasiswa yang menyandang predikat kaum intelektual. Masih mending hari itu Anton mau menunggu lebih lama di depan kelas, kecuali main facebook, twitter, BBM, main game atau apalah yang bisa dilakukan di laptop. Kalau tidak, dia pasti sudah pulang lebih awal dari anak TK atau minimal dia sudah pergi entah kemana kakinya melangkah bersama komunitasnya.

Nah, yang ini namanya Ayu (juga bukan nama sebenarnya). Mahasiswi yang satu ini adalah gadis yang cantik, dandanannya sangat modis dan seksi, membuat para kaum adam yang memandangnya berfantasi. Seperti biasa Ayu dan kawan-kawan se-genk-nya sedang asyik berkumpul di salah satu kantin sudut kampus IAIN, trend kerudung, pakaian, dan asesoris yang sedang update saat ini serta tempat-tempat hangout favorit, biasa menjadi topik diskusi utama mereka. Padahal Ayu dan kawan-kawannya itu mengambil jurusan Tarbiyah Bahasa Inggris, yang jelas tidak pernah berhubungan antara mata kuliah dengan topik bahasan mereka setiap kali bertemu rekan-rekannya.

Lain halnya dengan Akbar (nama samaran), mahasiswa rantau yang barangkali tampak terasing dikalangan mayoritas teman-temannya. Wajar saja, dari penampilannya yang sederhana, tidak menampakkan sebagai seorang pemuda yang “gaul (versi ABG)”. Tetapi ada yang tampak unik darinya, disaat teman-teman kuliahnya menghabiskan waktu di tempat-tempat hangout seperti kafe, PS-an, Akbar justru membagi waktunya untuk mengajar anak-anak jalanan pada salah satu rumah singgah disela-sela rutinitasnya yang padat sebagai mahasiswa dan aktifis kampus.

Sekarang, mari bersama-sama menengok kondisi mahasiswa saat ini melalui ilustrasi diatas Anton dan Ayu menjadi karakter dominan pola pikir mahasiswa, keduanya mewakili entitas kebanyakan mahasiwa saat ini. Itulah realitas mahasiswa. Padahal, mereka adalah kaum intelektual, generasi pembaharu, agen of change, sekaligus kritikus pemerintah yang paling independen. Begitulah kira-kira image yang melekat pada mereka yang menyandang predikat mahasiswa. Begitu hebat kaum itu sehingga icon kampus, tempat mereka belajar, selalu diidentikan dengan komunitas perubahan. Karena memang catatan sejarah telah mengukir para mantan mahasiswa yang telah mengoptimalkan fungsi dan perannya dengan baik, tapi kini....? Ditengah kurungan kemajuan teknologi serta modernisasi peradaban yang menamakan diri sebagai globaliasasi, figur-figur pemuda/mahasiswa dalam dunia tanpa batas ternyata lebih mudah membentuk pribadi-pribadi konsumtif pada segala hal. Mahasiswa sekarang seakan kehilangan identitasnya, sikap ramah dan rasa sosial yang tinggi yang pernah dimiliki pemuda bangsa ini yang notabene adalah bangsa timur mulai hilang dan berganti dengan sikap apatis, individualistik dan tidak jarang anarkis (tawuran).

Keadaan mahasiswa yang seperti ini pastinya berimbas pada kualitas output sumber daya manusia (SDM). Bahkan kenyataanya kini, banyak sarjana yang justru menjadi pengangguran dan luntang-lantung tidak jelas. Mereka kurang memiliki life skill, akibat membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia ketika masa kuliah dahulu. Singkatnya, Negeri ini sedang sakit. Lahirnya generasi baru dengan kualitas SDM yang baik adalah salah satu obat penawar rasa sakit tersebut, dan obat itu juga salah satunya ada pada kita, para mahasiswa. Dengan demikian, maka sudah saatnya kalian, para mahasiswa yang kebanyakan seperti Anton dan Ayu untuk melakukan introspeksi, membenahi sikapnya yang kurang pantas dilakukan oleh mereka selaku mahasiswa. Sebelum semuanya terlambat, sebelum segalannya berubah menjadi penyesalan Syukurlah masih ada sebagian mahasiswa, meski “minoritas” layaknya Akbar seperti pada ilustrasi di atas. Mereka masih sadar akan fungsi dan tangungjawabnya sebagai mahasiswa dan manusia. Yang masih peduli dan mau berbagi ilmu kepada mereka yang kurang beruntung. Hidup Mahasiswa!!!

Senin, 04 Maret 2013

Makalah ~ Sistem Pendidikan Indonesia

LATAR BELAKANG

Sobat Sipakatau, Data UNESCO mengenai peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari tingkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun (tahun 2000). Sedangkan menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan oleh kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi akibat arus globalisasi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Bangsa ini berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Indonesia sekarang merasakan ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya.

PEMBAHASAN

1. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia. Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

2. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

3. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
a. Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain. Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

b. Efisiensi Pengajaran
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

c. Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi. Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan kita yaitu:
1)    Rendahnya sarana fisik,
2)    Rendahnya kualitas guru,
3)    Rendahnya kesejahteraan guru,
4)    Rendahnya prestasi siswa,
5)    Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6)    Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7)    Mahalnya biaya pendidikan

4. Upaya Solutif Permasalahan Pendidikan Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu: Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Sedangkan solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya seperti yang telah disebutkan. Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa. Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional. Mari bersama membangun bangsa, semoga apa yang telah diupayakan membuahkan hasil yang lebih baik bagi generasi penerus bumi pertiwi.

Resiko Modernisasi Dan Solusinya

Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusianya. Indeks pembangunan manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan suatu daerah. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah bagaimana mengelolah sistem pendidikan itu sendiri oleh setiap pemangku kebijakan. Sistem pendidikan yang tidak didasari dengan ideologi yang kuat akan menghasilkan lulusan yang gamang dalam menerjemahkan peran dirinya di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya sarjana yang hanya berorientasi pada lapangan pekerjaan, dan tidak mencari jalan keluar dengan menjadi entrepreneur, ataupun social entrepreneur. Pendidikan mesti didorong untuk membangun dari bawah, bukan untuk menjadi tenaga kerja yang melulu berharap pada investasi asing. Di sini terlihat kesalahan rancang bangun pendidikan nasional, karena mengandung bias kota dan sentralisasi pembangunan. Imbasnya, setelah melewati bangku sekolah dan perguruan, seseorang cenderung akan menuju kota dan pabrik, karena pola modernisasi sudah terinternalisasi dalam alam fikirnya.

Adanya perbedaan persepsi atau lebih tepat dikatakan “salah” pengertian tentang pendidikan yang lebih mengutamakan pengembangan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Jika pendidikan wirausaha hanya dimaknai sebagai kegiatan melatih seseorang agar pintar mencari uang dan cepat meraih kekayaan, hasilnya justru akan kontraproduktif. Alih-alih akan mendekatkan masyarakat pada kehidupan sejahtera, langkah seperti itu malah akan memperburuk tatanan ekonomi daerah dan melanggengkan ketimpangan sosial ekonomi. Adalah kekeliruan besar jika kita melihat pendidikan semata sebagai sistem yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pola industrialisasi yang tercetak dalam cara berfikir positifistik (UN adalah salah satu indikatornya). Bangsa ini tidak perlu mengambil jalan keliru dengan menjadikan pendidikan sebagai mesin pencetak tenaga kerja. Karena itu bukanlah nation dan characterbuilding. Itu adalah robotbuilding. Kecuali para pemimpinnya menginginkan negara ini menjadi negara yang berisikan ratusan juta buruh semata. Konsep pendidikan yang membebaskan dan berusaha mendobrak kekakuan dalam pola pendidikan apabila tidak ada peraturan yang membatasi akan menimbulkan permasalahan baru seperti kebebasan berpakaian, Permasalahan yang timbul yaitu akan adanya persaingan dalam penampilan para siswa dan memungkinkan akan timbulnya kelompok-kelompok dalam sekolah.

Salah satu langkah jitu untuk meningkatkan mutu pendidikan agar para pelajar kita bisa menjadi pelaku pembangunan yang efektif di masa depan, adalah kontekstualisasi pendidikan. Yang dimaksud dengan kontekstualisasi pendidikan adalah mengkaitkan segenap pelajaran di sekolah dengan kehidupan nyata, khususnya dengan dinamika pembangunan di daerah. Visi ke depan adalah pengembangan pendidikan memultiplikasi potensi sumber daya alam ke dalam tangan-tangan yang mampu memanfaatkannya secara bertanggungjawab. Prakondisi untuk memperbaiki pendidikan kita sudah ada. Desentralisasi politik dan pendidikan adalah landasan emas untuk membebaskan pendidikan dari kekangan logika (hubungan industrial). Sehingga tinggal diselaraskan adalah cita-cita nasional, dan juga cita-cita daerah. Menanamkan kompetensi ke dalam diri anak didik adalah satu hal. Tapi membangun karakter dan jiwa adalah tantangan sesungguhnya. Dan itu akan jelas memberikan waktu yang cukup untuk melakukan otokritik dan mengakui letak kesalahan dunia pendidikan kita.

Kesimpulannya, perkembangan proses pembelajaran sekolah yang lebih mengedepankan pengasahan kreativitas, daya eksplorasi anak dan perpaduan integral dari keduanya yang membentuk kemempuan berpikir kritis. Kreativitas dan kemampuan berpikir kritis saat ini, yang disepakati sebagai pilar utama pengembangan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dan Pengembangan entrepreneurship adalah kunci kemajuan. Pendidikan kita harus didorong untuk membangun Indonesia dari bawah, bukan untuk menjadi tenaga kerja yang selalu berharap pada investasi asing. Dan Sistem Pendidikan yang diselaraskan dengan cita-cita nasional, dan juga cita-cita daerah. Revitalisasi pendidikan dengan konsep mengusung kebebasan juga akan sangat bermanfaat. Pada akhirnya harapan dan kemajuan yang selama ini dicita-citakan akan terbuka lebar. Semoga J

Sabtu, 02 Maret 2013

Budaya Kerja 5S Ala Jepang

Seseorang yang bekerja pada suatu perusahaan haruslah mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja yang digelutinya. Sebelumnya telah Sipakatau share mengenai kebiasaan- kebiasaan buruk yang sering dilakukan di tempat kerja. Kesempatan kali ini kembali posting artikel tentang budaya kerja 5S ala Jepang.  Pernahkah sebelumnya anda mendengar Budaya Kerja 5S? Atau bahkan Anda telah menerapkannya di tempat Anda bekerja saat ini? Budaya Kerja 5S adalah budaya kerja yang terlahir dari budaya Jepang dalam teknik berumahtangga praktis. Tujuannya adalah peningkatan profit, efisiensi, pelayanan, dan keamanan. Budaya kerja 5S terdiri dari Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi 5R, yaitu Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Budaya kerja 5S saat ini sudah banyak diterapkan dalam organisasi maupun perusahaan. Dasar-dasar 5S adalah sebagai berikut:

Seiri (Ringkas)
Seiri merupakan langkah awal dalam menjalankan budaya 5S, yaitu membuang atau menyortir barang-barang, file yang tidak digunkan lagi ke tempat pembuangan atau recycle bin. Tindakan ini dilakukan agar tempat penyimpanan menjadi lebih efisien, karena dipergunakan untuk menyimpan barang atau file yang memang penting dan dibutuhkan. Selain itu bertujuan agar tempat kerja Anda terlihat lebih rapi, tidak berantakan seperti sebelumnya.

Seiton (Rapi)
Setelah anda menyortir semua barang atau file yang tidak dipergunakan lagi. Kini saatnya Anda merapikan semua barang dan filepenting anda dengan teliti. Buatlah semuanya menjadi terorganisir dan sistematis. Berikan nama pada setiap tempat penyimpanan yang mudah diingat, bisa juga gunakan kode pada tempat penyimpanan. Jika berbentuk barang, berikan label dengan nama atau visual sebagai ciri khas, jika berbentuk file atau softcopy data manajemenkan folder-folder di komputer anda. Tujuannya agar mudah mengidentifikasi saat file, barang atau benda tersebut dibutuhkan dan Anda tidak perlu membuang banyak waktu hanya untuk mencarinya.

Seiso (Resik)
Langkah berikutnya adalah sepertinya ini yang paling wajib yaitu membersihkan tempat kerja, ruangan kerja dan lingkungan kerja Anda. Tanamkan dalam diri Anda kebersihan merupakan hal yang fital dalam kehidupan, jika Anda tidak menjaga kebersihan, lingkungan Anda menjadi kotor dan menjadi faktor utama terjangkitnya penyakit. Jika Anda terserang penyakit, sudah pasti pekerjaan anda akan tertunda bahkan terbengkalai, terhentinya produktifitas Anda akan menyebabkan banyak kerugian. Lakukanlah kebersihan harian, pemeriksaan kebersihan dan pemeliharaan kebersihan.

Seiketsu (Rawat)
Seiketsu adalah tahap yang sulit, karena Anda harus menjaga ketiga tahap yang sudah dijalankan sebelumnya secara rutin. Tahap ini dapat juga disebut tahap perawatan atau maintenance. Biasanya bagi perusahaan skala besar ada bagia khusus karyawan yang memantau hal-hal seperti ini, minimal OB.

Shitsuke (Rajin)
Rajin atau disiplin meliputi suatu kebiasaan dan pemeliharaan program 5S yang sudah berjalan. Hal yang tidak terbantahkan bahwa kedisiplinan merupakan kunci keberhasilan. Ada baiknya, jika Anda berada diposisi sebagai atasan, buatlah standarisasi 5S dan berikan training 5S agar seluruh anggota organisasi atau perusahan paham akan kegunaan dari 5S sebagai dasar kemajuan perusahaan karena dengan menerapan 5S yang praktis dan ringkas bertujuan pada efisiensi, pelayanan yang baik, keamanan bekerja, dan peningkatan produktifitas dan profit.

Demikianlah informasi budaya kerja ala negeri Sakura seperti yang dikutip dari id.jobsdb.com yaitu  Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke. Semoga dapat menambah wawasan pengetahuan bagi anda-anda yang sudah mampir di Sipakatau. Tetap semangat dan salam bahagia J

Pentingnya Integrasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Dalam Pendidikan

Sobat Sipakatau, Bangsa Indonesia tidak akan mungkin mengelak dari globalisasi, sebagai konsekuensi dari posisinya yang menyemesta itu dan konsekuensi zaman globalisasi. Yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisir dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan modernisasi pasti terjadi, dan tidak terelakkan. Era globalisasi yang diboncengi neoliberalisme dan modernisasi melaju diiringi pesatnya revolusi IPTEK (Ilmu pengetahuan dan teknologi). Dunia tanpa batas yang menganut aliran kebebasan, kebebasan berkreatifitas, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Bila kita duduk di suatu kursi akan melihat dan berkomunikasi dengan orang di tempat yang paling jauh di dunia luar sana, maka kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi mendekatkan jarak dan waktu. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melahirkan budaya baru dan mempengaruhi tatanan budaya masyarakat Indonesia yang luhur.
Fenomena “kebebasan” dunia harus disikapi dengan arif dan bijaksana karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi kemajuan. Namun tidak boleh lengah dan terlena, karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukankah bangsa jangan sampai ketinggalan IPTEK dengan negara lain. Memang, perlu kecerdasan dalam menjaring dan menyaring efek globalisasi. Akses kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Dengan munculnya era globalisasi ini, maka semakin disadari pula pentingnya mempertahankan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Harus diakui, aktor utama dalam proses globalisasi masa kini adalah negara-negara “maju”. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di negaranya untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global. Mereka dapat dengan mudah melakukan itu karena mereka menguasai arus teknologi informasi dan komunikasi lintas batas negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negara-negara berkembang seperti negara kita tak mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena daya kompetitifnya yang rendah. Akibatnya, negara-negara berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya nilai-nilai negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya.

Salah satu masalah utama dalam bidang pendidikan dan kebudayan adalah masalah identitas kebangsaan. Dengan derasnya arus globalisasi dikhawatirkan budaya bangsa, khususnya budaya lokal akan mulai terkikis. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pemelajaran sastra di sekolah. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayahnya. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. 

Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Pudarnya budaya bangsa telah mengakibatkan banyak dampak. Salah satunya di dalam struktur masyarakat sudah mulai terjadi ketimpangan sosial, baik dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan, sementara itu budaya global lebih mudah merasuk. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan keadan sosial di wilayah tersebut. Beberapa hal yang termasuk budaya lokal diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Dengan demikian perhatian pada budaya lokal yang perlu ditingkatkan. Pengintegrasian budaya lokal ke dalam pendidikan sungguh amat penting. Hal ini dilakukan sebagai upaya penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal dan juga sekaligus untuk meminimalisir pengaruh negatif budaya luar khususnya budaya barat yang dibawa oleh globalisasi.